”Beri aku satu anak laki-laki! Biar tak usah kutangisi nasib anak perempuanku nanti!”
Karena nama anak perempuan tak akan kau temukan lagi sebagai dirinya dalam sebuah bagan keluaga!
Trinil, memang demikianlah budaya yang membesarkan kita ternyata. Kau! Kata mereka. Perempuan! Pergilah! Cukup kami membesarkanmu sampai disini. Ikut suamimu!
Lalu kita pergi. Sepotong mas kawin bagi kita.
Lalu kita ikut kemana arus membawa. Suami naik, suami turun... kita makmum! Bersyukurlah kita yang dikaruniai suami yang baik. Bersyukurlah! Beberapa dari kita menangisi nasibnya dan tak mungkin kembali.
Pintu tertutup bagi anak perempuan yang telah menikah, bukan?... Kau telah pergi, Nak! Tak ada lagi bagianmu disini...
Sebab perbekalan cuma milik anak laki-laki dalam keluarga. Anak laki-laki yang akan jadi suami dari istri mereka. “Sebab istri mereka adalah tanggung jawab kami. Seperti kau telah kami serahkan pada mereka!”
Apakah perempuan-perempuan ini cuma semacam barang? Demikiankah sebuah serah terima perempuan antar keluarga? Kita ini dimiliki. Dan tak boleh memilih untuk memiliki. Bahkan keluarga bapak kita sendiri!
”Sebab nama kalian takkan pernah terbaca lagi, sebagai dirimu sendiri...”
(BuRuLi, WarBat: 27 Juli 2006)
No comments:
Post a Comment