:Pulung Cikal Radjam
anak pertama kami
Cikal luruh karena janji. Janjinya dulu pada Ilahi. Di pagi yang harum sabun mandi, Cikal meronta melepas diri. “Aku berangkat,ya! Bunda tak akan sakit lagi!”
Bundanya menangis. Air mata sungai mengalir. Melarang ia tak mungkin. Ikhlas ia belum berhasil. “Berangkatlah, Nak! Kalau memang begitu sebuah kehendak”
Cikal mungil melengkung pelangi. Cikal luruh kemarin pagi. Cikal ungu lurik berbisik “Bawa aku pulang, Ayah! Leburkan aku di tanah rumah”
Cikal tinggal di bawah batu. Air mata ayahnya menggali seluruh. Doanya mengucur sedih bercampur. Di jauh bunda mengerang duka. Ayah mendukungnya sekuat jiwa “Sudah, Bunda…Itu semua rencana-Nya”
Ada yang mengukir tabah di nisan tak bernama. Dua bulan di perut ditimang bunda. Dua bulan dibuai dituntun ayah. Ia yang bernyanyi tanpa suara. Melihat hidup memintal rasa. Belum lagi jantungnya pernah berdegup, ia memilih pulang pada Tuhannya.
Ada yang merindu pada seluruh urat nadinya. Ada yang berdoa di setiap tarik nafasnya. Ialah sepasang ayah dan bundanya, berharap akan berjumpa suatu ketika.
“Cinta padamu tak pernah selesai, Cikal! Sepanjang hidup ayah bundamu termimpi!”
Ada yang menaut jemari menumbuk sedih.
(BuRuLi: PH, 3 Juni 2006)
No comments:
Post a Comment