Friday, 28 September 2007

Bulu Ketiak

Bulu ketiak keriting njegrik dari bawah pangkal lenganmu , protes akan ketidak adilan. Kata mereka:

“Kau kira tidak tesiksa berada dibawah kempitan pangkal lengan berat dan berair ini, jadi pangkalan bakteri dan sering dituduh sebagai sumber bau ?”

O, bulu ketiak! Sempat kupikir kaupun pasti merasa iri pada nasib bulu mata, alis apalagi rambut yang sempat merasakan sentuhan tangan-tangan lentik meluruskan ataupun mengikalkan mereka, memotong dan mencabuti kemudian hasilnya buat dipamerkan.

Yap! Belum pernah ada yang memamerkan dengan bangga hasil pencabutan bulu ketiaknya pada masyarakat luas. Dan tidak pernah ada tren model bulu ketiak kecuali saat Samson jadi juara. Bulu ketiak gondrong maha sakti. Cuma milik Samson, bukan?

Bulu ketiak melakukan peregangan, berharap hasilnya akan seindah hasil rambut yang di re-bonding. Tapi alih-alih menjadi lebih lurus malah jadi semakin keriting, merasa stress, dibekap dibawah pangkal lengan penuh keringat. Ah, nasib katanya. Teringat pula pada nasib kawan sesama bulu…

“ Sampai sekarang aku masih memikirkan, apa sih maksud-Nya aku ditumbuhkan disitu? “

Maaf. Tapi aku bukan ahlinya!

(BuRuLi, LeBul: 28.01. 2004)

Bayi Perempuan yang Tak Pernah Diinginkan

Ya. Ibuku bidadari. Matanya tajam seperti elang. Aku tidak. Aku bukan mahluk menakjubkan seperti dia. Aku Cuma bayi perempuan biasa. Iapun malu melahirkan aku.

Bidanku seorang raksasa. Dua taringnya menghujam dunia. Ia tinggi besar dan hitam. Kau akan takut kecuali kau kenali sinar di matanya. Ada matahari hangat terbit disana. Ia basuh mukanya dengan darahku. Darah anak bidadari yang ingin membuang bayinya. Makan saja bayi itu kalau kau mau! Kata ibuku.

Raksasa itu menangis. Ibuku menangis. Dua tangisan yang bersamaan dengan alasan yang sama sekali berbeda. Ibuku mengharapkan seorang pangeran mengoek dari perutnya. Ia benci mendapatkan bayi kecil mirip babi. Demikian kukira ibu bidadari itu mengenangku.

Raksasa itu menangis. Tak seorang jantanpun meminangnya. Tak seorangpun bayi lahir dari rahimnya. Ia menangis. Ada mahluk mungil dihadapannya. Ia tersinggung disangka demikian buas. Seandainya ibu itu bukan bidadari, maka dialah yang akan dibunuhnya!

Aku masih ingat bagaimana rasanya melayang dipangkuan Sang Dewi Raksasa. Bau mulutnya yang khas. Suaranya menggelegarkan kidung cinta. Tidurlah anakku. Puteri Dewi semanis madu. Tidurlah di hangat dadaku…

Mataku basah. Basah oleh airmatanya. Airmata Dewi Raksasa yang perkasa. Ketika bidadari itu pamit hendak terbang pulang, Dewi Raksasa berkata:

“Aku tak akan pernah berterimakasih, atas kudapan segar di genggamku ini. Juga takkan berterima kasih karena telah kau lempari aku segumpal cinta bermata jernih. Makan saja sendiri olehmu kenangan biadab ini. Kau akan kehilangan dia sampai mati! Kau tak suka bayi perempuan? Hanya mereka yang bisa sungguh-sungguh menyelamatkanmu!”

Perempuan tua cantik itu kini terbaring di atas peraduan beledu. Ibu Dewi Raksasa berdiri di depan gapura, setia menungguku. Nak, kata ibu dewi gagahku itu. Jenguklah ia. Ia sudah sengsara terantuk dosa. Bidadari tua gila. Ia tidur disana duabelas tahun lamanya. Sendiri. Sendiri menghitung sepi…

(BuRuLi, LeBul: 26.01.2004)

Tentang Sepotong Sajak Yang Ditemukan Mati di Bawah Jendela (1)

Sepotong sajak telah ditemukan mati mengenaskan di bawah sebuah jendela
Sajak siapa?
Jendela siapa?
Kenapa sajak itu sampai bisa mati terbunuh disini?

Orang-orang memilih bungkam
Diam adalah senjata
Dan para penanyapun memilih berhenti bertanya

:
Sajak itu telah memilih mati, kata orang-orang.
Bohong!
Dimana-mana sajak lebih memilih cinta daripada kematian.
Tapi apa benar?

Orang-orang dulu telah menggunakannya sebagai alat untuk mendapatkan berbagai macam keinginan mereka.

Anda ingin pacar, kekasih, pengagum dan penggemar? Tulislah sajak!
Atau anda baru saja terluka? Tulis jugalah sajaknya!

Maka berderetlah puisi-puisi untuk dan dari pacar, mantan pacar, calon suami, calon istri, mantan suami atau istri bahkan para orang yang belum pernah kita sempat tahu mereka siapa.

Puh!
Memuakkan.
Sungguh memuakkan!
(Atau... mungkinkah racun bernama kisah percintaan itu yang telah membunuhnya? Ia tampak demikian ungu kaku dan barangkali sangat tersiksa menjelang ajal menjemputnya)
Entahlah...

Salah seorang yang datang menjenguk mendiang sajak itu telah memaki-maki Sang Sajak di depan jasadnya
:
Kau pembohong!
Serunya.
Barangkali ia benar.

Orang itu telah menemukan ribuan sajak yang sama dan seirama bagi dirinya, bagi diri orang-orang lain, dari orang yang sama yang telah mengirimkan sajak itu padanya... dulu.
Isinya adalah:
Cinta
”Aku mencintaimu”
Demikian sepotong bunyi dari sederet sajak itu.

Entahlah...
Kematian sajak telah membuatnya beku sekalipun ia pernah terluka karenanya.
Orang itu telah merindukannya.
:
Sepotong sajak bernada cinta

Lantas,
Jendela siapakah itu?

(BuRuLi, WarBat: 3 February 2007)

Tentang Sepotong Sajak Yang Ditemukan Mati di Bawah Jendela (2)

Siapa yang telah membunuhnya…?

Aku!
Teriakku dari jendela rumah hantu.

(BuRuLi, WarBat: 05 Feb 2007)

Tentang Gempa

Gempa tidak pernah menelepon dulu sebelum ia datang.
Tidak pernah menyampaikan seberapa dalam kerinduannya dan seberapa lama ia akan tinggal bersama kita.

Setelah pergi ia juga tak pernah berkirim surat tuk mengabari,
Kapan ia akan datang kembali...

(BuRuLi, LeBul: 26 September 2007)

Surat buat Trinil (2)

”Beri aku satu anak laki-laki! Biar tak usah kutangisi nasib anak perempuanku nanti!”

Karena nama anak perempuan tak akan kau temukan lagi sebagai dirinya dalam sebuah bagan keluaga!

Trinil, memang demikianlah budaya yang membesarkan kita ternyata. Kau! Kata mereka. Perempuan! Pergilah! Cukup kami membesarkanmu sampai disini. Ikut suamimu!

Lalu kita pergi. Sepotong mas kawin bagi kita.

Lalu kita ikut kemana arus membawa. Suami naik, suami turun... kita makmum! Bersyukurlah kita yang dikaruniai suami yang baik. Bersyukurlah! Beberapa dari kita menangisi nasibnya dan tak mungkin kembali.

Pintu tertutup bagi anak perempuan yang telah menikah, bukan?... Kau telah pergi, Nak! Tak ada lagi bagianmu disini...

Sebab perbekalan cuma milik anak laki-laki dalam keluarga. Anak laki-laki yang akan jadi suami dari istri mereka. “Sebab istri mereka adalah tanggung jawab kami. Seperti kau telah kami serahkan pada mereka!”

Apakah perempuan-perempuan ini cuma semacam barang? Demikiankah sebuah serah terima perempuan antar keluarga? Kita ini dimiliki. Dan tak boleh memilih untuk memiliki. Bahkan keluarga bapak kita sendiri!

”Sebab nama kalian takkan pernah terbaca lagi, sebagai dirimu sendiri...”

(BuRuLi, WarBat: 27 Juli 2006)

Surat Buat Trinil

Kemana harus kutitipkan gelisahku, Nil?
Mungkin nanti sampai aku nyusul kau mati, jenis kita ini masih warga kelas dua.
Bukan soal sekolahnya, Nil! Bukan!
Tapi kupikir karena banyak yang memang percaya kalau perempuan itu ditakdirkan hidup nggelosor. Jadi pel buat orang banyak.

Kemana harus kutitipkan gelisahku, Nil?
Kalau kita gagal beranak kitalah yang salah.
Hampir selalu cuma kita!
Karena nggak sehatlah, karena kurang hati-hatilah, karena setreslah...
Apa mereka pernah tanya apa rasanya jadi kita, Nil?
Apa pernah?
Kenapa kita jadi nggak sehat, sepertinya kuranghati-hati dan kenapa sampai setres!
Apa mereka peduli, Nil? Apa mereka mau mencoba mengerti?
Setengah hidup kita tahan sakit di badan dan di hati...

Dan pahitnya, Nil...
Sebagian dari jenis kitalah yang menudingi hidung-hidung jenis mereka sendiri
:
”Bodoh! Apa yang kalian perjuangkan, sih? Kita kan memang ditakdirkan untuk jadi begini ini, karena kita terlahir dari jenis yang ini di tanah ini!”

Semprul!
Banyak juga yang masih menimang cara seperti itu, Nil...
Perempuan dikira kain, apa? Dimek-mek. Kalau udah jelek tinggal dijadikan gombal. Jadi keset. Lebih jelek dari ”Welcome” sekalipun!

Aku mau nangis, Nil... Tapi katanya gak boleh. Katanya cengeng amat. Terkadang terlihat berperasaan pun dianggap salah. Padahal aku ini sedih, Nil. Dan cuma butuh nangis sedikit. Bukan pingin mati...

(BuRuLi, WarBat: 21 Juli 2006/ dinihari pagi)

Sial!

Bunga batu!
Teriakku…

Sial!

(BuRuLi: LeBul: 15 September 2007)

Sedari Menjadi

:Cikal dan Ndayang

Dua anak kami
Wangi bunga rumput liar
Mandi sinar matahari

Sedari lahir menjadi gizi bagi tanah, bagi akar, bagi serangga

Sedari lahir menjadi liar menjadi sinar

Sedari menjadi mereka udara
Bagi bapak dan ibunya

(BuRuLi, LeBul: 10 September 2007)

Kerinduan itu

Hei…

Tiba-tiba aku merindukan sebuah panggung kecil, perangkat pengeras suara dan gitar

Orang-orang yang duduk, mengaharap dan menantikan..

Lalu lampu ruangan yang dipadamkan
Dan lampu panggung yang dinyalakan

Lalu langkah-langkah
Dan suara-suara

Dan senyuman
Dan gegar tepukan tangan

Hei...

Aku merindukan belakang panggung yang riuh menyesakkan
Orang-orang yang lalu-lalang dan perangkat pentas yang berserakan

Lalu tepukan-tepukan bahu yang membarakan
”Jangan khawatir!”
”Kalian bisa!”

Lalu doa yang di panjatkan sebelumnya
Dan pelukan yang di eratkan setelahnya
Syukur yang dalam

Hei...

Aku merindukan pasang-pasang mata bahagia
Lelah yang lesap
Orang-orang yang menyerakkan diri di antara lengan, perut dan kaki
Dengkur yang murni

(BuRuLi, LeBul: 26 September 2007)
*kepada keluarga kecil yang telah menjadikanku

Karena Janji Pada Suatu Pagi

:Pulung Cikal Radjam
anak pertama kami

Cikal luruh karena janji. Janjinya dulu pada Ilahi. Di pagi yang harum sabun mandi, Cikal meronta melepas diri. “Aku berangkat,ya! Bunda tak akan sakit lagi!”

Bundanya menangis. Air mata sungai mengalir. Melarang ia tak mungkin. Ikhlas ia belum berhasil. “Berangkatlah, Nak! Kalau memang begitu sebuah kehendak”

Cikal mungil melengkung pelangi. Cikal luruh kemarin pagi. Cikal ungu lurik berbisik “Bawa aku pulang, Ayah! Leburkan aku di tanah rumah”

Cikal tinggal di bawah batu. Air mata ayahnya menggali seluruh. Doanya mengucur sedih bercampur. Di jauh bunda mengerang duka. Ayah mendukungnya sekuat jiwa “Sudah, Bunda…Itu semua rencana-Nya”

Ada yang mengukir tabah di nisan tak bernama. Dua bulan di perut ditimang bunda. Dua bulan dibuai dituntun ayah. Ia yang bernyanyi tanpa suara. Melihat hidup memintal rasa. Belum lagi jantungnya pernah berdegup, ia memilih pulang pada Tuhannya.

Ada yang merindu pada seluruh urat nadinya. Ada yang berdoa di setiap tarik nafasnya. Ialah sepasang ayah dan bundanya, berharap akan berjumpa suatu ketika.

“Cinta padamu tak pernah selesai, Cikal! Sepanjang hidup ayah bundamu termimpi!”

Ada yang menaut jemari menumbuk sedih.

(BuRuLi: PH, 3 Juni 2006)

Peluk Sayang dari Surga

Peluk sayang dari surga!
Untuk sepelukan orang-orang tercinta
Mungkin belum sempat kita kemarin
Berpelukan lahir dan batin.

Mungkin saat kau pandangi puing itu
Teringatmu salahku padamu
Peluk sayang dari surga
Mohon maafkan aku sedalamnya

Hari itu aku menangis
Mengenang kau, dia dan semuanya
Semuanya!
Terlambat…
Aku keburu berangkat!

Peluk sayang dari surga

(BuRuLi, WarBat: 13 Juni 2006)
-Untuk Jgy,3-

Sebuah Doa Yang Dikulum

Mari kita tersenyum
Hari itu memang sedih
Menangis kita sudah meraung
Tapi Tuhan sayang kita
(BuRuLi, WarBat: 13 Juni 2006)
-Untuk Jgy, 2-

Yang mengetuk pintu? Bukan Tamu!

Yang mengetuk pintu hari itu
Bukan tamu!
Malaikat tidak sedang menjajakan tiket perjalanan ke surganya secara door to door

Pada perjanjian
Suatu hari akan rekah
Bumi
Di sini

Lalu ada yang datang di hari itu
Suaranya seperti ketukan di depan pintu
Bukan Tamu!

( BuRuLi, WarBat: 13 Juni 2006)
-Puisi BuRuLi untuk Yogya-

Deteline means deadline

Symptoms-nya adalah kepala pusing, mata pendar dan emosi berhulu ledak besar!
Semua tuts komputer berikut jari-jari dan otak are goin’ mad dengan teriakan khas yang tertahan:
” F*** you!”

I hate dateline!

Dateline means deadline
Cinta digantungkan sementara di titik terdekat dengan telinga sehingga ketika telepon berdering kita siap dengan bisikan pertolongan gawat darurat:
”I love you, honey!”

Kita menggelinjang ketika tidur. Mimpi deretan angka dan tabulasi jadwal yang harus dipenuhi.
:
” F*** you!”

(BuRuLi, WarBat: 8Juli 2006)

Dari sebuah catatan tua yang kutemukan kemarin senja.

Apakah yang tidak mungkin?
Sebab hidup adalah kumpulan dari kemungkinan-kemungkinan
Pahit ataupun manis
Adalah
Kemungkinan

Lalu kita sibuk menebak ke arah mana sebaiknya kita berjalan
Dan
Segera pula tahu bahwa kita tidak akan pernah sungguh-sungguh tahu
Kemana seharusnya...

Sebab hidup adalah kumpulan dari kemungkinan-kemungkinan
Pahit ataupun manis
Adalah
Kemungkinan

Maka
Berdamailah!

(BuRuLi, WarBat: 18 Feb 2007)

Ada Carefour mengintip dari celah-celah atap di kampung kami

Demikian dekat Carefour dari sini...

Banjir?
Siapa takut?!
Pindah Carefour aja!
Srug! Srug! Srug! Gelisah tawa para ibu di atas papan cuci mereka

Di sebelah jemuran kutang adalah jemuran celana dalam
Semua di jemur di beranda, persis di tempat kami biasanya mengibarkan bendera
Tung... tung... tung... tung... ! Perhatian... Perhatian...
Para pengunjung Carefour yang terhormat di mohon agar....
Hei, Pak! Kontrakan-nya tahun depan jangan naik lagi dong!

Demikian dekat Carefour dari sini...


Tung... tung... tung... tung...
Eh, Mbak kerja di Carefour?
Ada lowongan lagi di sana kagak, yah?
Buat anak saya!

Demikian dekat Carefour dari sini...

Tung... tung... tung... tung...
Abis borong, bu?
Hebat, yah!
Kan mahal...

Busyet, dah!
Serius ’ni harga sayur?
Tapi...
Ke Carefour aja, ah!

Demikian dekat Carefour dari sini...

(BuRuLi, WarBat: 10 Feb 2007)

Sunday, 8 July 2007

Tentang Perempuan Pengembara

Suatu hari suatu waktu,
aku temukan kamu.
Berdiri.
Sendirian.
Sedang menatap bintang.

"Apa kabar langit" Katamu...
(A sketch of me, 20 April 2004)

Eksibisionis!

: sebuah catatan kecil BuRuLi

Jangan menjadi eksibisionis! Teriak ibumu, bapakmu, kakak dan adikmu bahkan tetanggamu. Eksibisionis yang mengumbar ceria di depan orang -orang yang sedang lupa apa itu bahagia. Nanti kau dikutuki. Di sumpah-serapahi. Rasakan! Kalau kau besok tak merasakan bahagia lagi!

Idih! Kenapa, sih?

Seperti kita yang meski saatnya sedang tidak puasa hampir selalu tak bisa makan dengan tenang disaat bulan puasa. Wah. Sebenarnya kita kan tidak lantas menunjuk-nunjukkan. Kadang kita sudah duduk manis di wilayah meja makan. Memang tempatnya. Masih salah juga?

Kalau kau sedang jatuh cinta, lalu matamu berpendar ceria indah seperti bintang yang menggantung di atap surga, apa itu salah?

Kenapa jadi salah?
Dimana salahnya?

Kita tak sedang memamerkan baju baru di depan orang-orang yang tak sanggup punya baju!

Seorang kanak-kanak baru saja menyelesaikan gambar ikan mas kokinya. Warna-warni. Sangat ceria. Jangan kau bayangkan sebagai sebuah gambar sempurna sebagaimana guratan seorang dewasa. Ia hanya mengguratkan warna, kemudian meneriakkan judul “gambarnya” :

“INI GAMBAR IKAN MAS KOKI SAYA!”

Seandainya kau tak punya keberanian sebesar dia untuk memamerkan sebuah karya, maka diamlah dan duduklah manis tanpa mengganggu kebahagiaanya. Ia cuma kanak-kanak, yang selalu mudah untuk menjadi riang dengan sendirinya.

Kenapa kita tak mulai belajar turut berbahagia atas kebahagiaan orang-orang di sekitar kita? Memberi mereka doa agar kebahagiaan itu selalu ada dan semoga menular pula ke sekelilingnya.

Membayar tawa dengan tawa, pelukan dengan pelukan, tangan-tangan yang selalu bergandengan. Selamat! Selamat atas kebahagiaanmu. Maukah kau turut berdoa buatku? Agar aku bisa seberuntung kamu?

Manis sekali!

(BuRuLi, LeBul: 06.04.2004)

Hujan, Ya? He he he…Iya!

Catatan Kecil BuRuLi

Sayang sekali di rumahku nggak ada jendela yang bikin kita bisa mengintip ke halaman luarnya. Ada sih, jendela… tapi tidak ideal untuk memandang. Bukan jendela yang bersahabat. Jendela yang sama sekali nggak punya “mata kamera”. Hiks. Well, tapi bagaimana lagi. Kita harus bersyukur atas sebuah rumah yang sudah bagus ada jendelanya. Ingat puisinya Faiz tentang kawan yang rumahnya gak berjendela? Aku lupa judulnya. Baru mau beli bukunya tapi belum jadi.

Hujan, ya? He he he…Iya! Pertanyaan tolol. Sudah tau terdengar rintik-rintik di luar sana masih juga bertanya. Tadi aku baca status messenger seorang kawan tentang keadaan hari ini, “Rain Song” tulisnya. Aku jadi lebih teliti mendengarkan bunyi rintiknya satu-satu. Tik..tik..tik…Thanks Cece, kamu mengingatkan aku pada sesuatu yang patut kita nikmati…

Hujan, ya? He he he…Iya! Kenapa kesedihan sering hinggap pada saat-saat seperti ini. O, apa ada hubungan hujan dengan suasana hati? Apa ada hubungan hujan dengan hormon dan segala impian? Yang aku tau hanya bahwa aku merasa sepi. Itu saja.

Karena hujan?
He he he, karena hujan, ya? Masa, sih? Ampun, Tuhan… Aku nggak mau menyalahkan. Kau ataupun siapa saja. Tidak. Aku tidak berani. Kau lihat pintumu yang sedikit, rusak, Tuhan? Tadi malam aku mencoba mendobraknya. Aku hantam dengan apa saja. Tapi bukan pintunya yang terbuka, malah aku yang semakin memar luka. Tuhan, tadi malam Engkau dimana?

Ada apa sih, sebenarnya?
Iya… ada apa, ya? Di luar ada hujan. Suaranya terdengar rintik-rintik. Di dadaku yang tebal aku mendengar degup jantungku sendiri. Bup! Bup! Bup! Aku juga mendengar suara kipas CPU yang menderu, kadang-kadang suara mesin air. Demikian riuh susasana sebenarnya. Kenapa tetap terasa sepi saja?

Bahkan aku juga mendengar suara air yang menetes dari keran kamar mandi yang sudah sedikit longgar. Demikian sepikah keadaannya? Tuhan … ( Ssst… sebenarnya aku juga bisa mendengarkan suara hatiku sendiri…)


(BuRuLi de Pooh, LeBul: 21/04/2004)

Ini Akan Menjadi Sebuah Perjalanan Raya!

Catatan Kecil BuRuLi

K i t a c a t a t i t u !

Tidaklah salah kalau para ibu dan ayah kita menjerit mendengar rencana perjalanan kita. Ini adalah sebuah petualangan besar. Jangan main-main! Kata mereka. Betapa itu benar, kawan!

Bisa kau bayangkan? Ibarat jalan raya Anyer- Panarukan yang menjengkali panjang pulau Jawa, sepanjang itulah barangkali sebuah terowongan di hadapan kita. Sekarang. Saat ini. Cahaya memang menanti di ujungnya kalau kita mau bersabar hati melintasinya perlahan-lahan. Dengan mengendarai kendaraan darat yang melaju pada kecepatan rata-rata kendaraan angkutan penumpang kita sebisa mungkin berhati-hati sebab ngebut dapat mengakibatkan kecelakaan dan akhirnya kematian.

Bukankah kita tak ingin tiba sebagai jenazah di kota tujuan, menggantungkan nasib kepada para pengusung dan berharap mereka berlapang dada menopang sekaligus mendoakan kita!

Seandainya kita adalah musafir maka kita harus berusaha menjadi para musafir cerdas yang tak gampang tertipu oleh sekedar fatamorgana oase di kejauhan. Batapa perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang menantang sekaligus menegangkan. Sebuah petualangan yang layak diperhitungkan sebagai perbuatan bertaruh nyawa dalam kehidupan kita.

Menakutkan?
Aha. Kita mulai mencium bau ketegangan dalam wacana ini, bukan? Tapi bukan kita namanya kalau tak tergoda untuk menaklukan segala ketakutan dalam dada. Tantangan yang memompa adrenalin. Rasa ingin tahu yang membusa. Bertemu apa kita nanti dalam perjalanan keujung terowongan sana?

Barangkali saja ada ular besar sedang asik tidur nyenyak di sebelah mata kaki kita, atau ular kecil yang justru demikian berbisa dan hanya menyisakan waktu untuk menyebut nama “Mama!” setelah gigitan kecil pertamanya. Tik! Buyar segala rencana.

Tapi kita melihat cahaya di ujung sebelah sana…

Semakin menakutkan?
Ya, tapi juga semakin menarik saja. Labih-lebih ketika kita sudah mendengar tentang hamparan sebuah telaga di ujung sana tepat di bawah cahaya yang terang jingga. Energimu tiba-tiba seperti akan muncrat dari puncak kepala. Oh!

Kesimpulannya sederhana saja! Kata mereka. Pelajari ilmu navigasi! Jangan pernah malas selidiki segala hal dan segala segi. Lengkapi juga perbekalanmu!

Perbekalan!
I n i K a t a K u n c i !

Apa saja yang perlu kita sediakan?
Masalahnya adalah “permasalahan yang sebenarnya” justru baru akan dimulai setelah kita tiba di ujung terowongan yang bercahaya jingga indah itu. Tugas kita disana adalah membangun peradaban baru. Sebagai sebuah tim yang solid sudah selayaknya kita bekerjasama membuat rencana mulai dari penghitungan anggaran sampai dengan memeriksa cetak birunya. Bukan pekerjaan yang sederhana sebenarnya. Tapi bukan pula sebuah pekerjaan yang mustahil.

Siap?
Sekarang mari kita periksa segala persiapan awal kita. Alurnya adalah begini:

1. Arah perjalanan kita sudah jelas: Ujung Terowongan
2. Petunjuk perjalanan awal: Cahaya Jingga
3. Tempat pemberhentian awal disana: Tepian Telaga
4. Tujuan Perjalanan: Membangun Peradaban Baru

Hal-hal yang dibutuhkan selanjutnya adalah:

1. Biaya perjalanan : Ongkos-ongkos kendaraan dan karcis-karcis pintu masuk serta sedikit kas awal.
2. Perbekalan makanan : Makanan pokok, lauk sekedarnya dan air.
3. Perbekalan alat : Lampu, peta, kompas, survival kit dan P3K.

Nah,
Sekarang kita menjadi tahu apa yang harus kita kerjakan. Mengenai tabel waktu, bukankah sudah kita sepakati sejak awal? Maka yang diperlukan adalah disiplin agar kita tidak panik pada hari-hari menjelang keberangkatan. Deadline adalah motivasi. Membiasakan pengecekan pada persiapan masing-masing anggota tim. Sungguh ini bukan proyek kecil milik pribadi. Kita paham itu!

Ok, tim!
Mari kita berjuang! Pada hari itu kulihat engkau lumayan kepayahan. Biar kubantu sedikit dan semoga engkau tak keberatan. Barangkali esok akulah yang akan membutuhkan bantuan. Kupikir perjalanan ini akan sangatlah menyenangkan mengingat langkah kita yang selalu diiringi dengan siulan-siulan…

(BuRuLi, LeBul: 17. 04. 2004)

*Selamat berjuang, semua tim! Juga tim kita, Candy!

Mari Kita Memaki! Dan Jadilah Kita Trendy!

Sekarang musim memaki. Pohon makian telah ditanam di halaman rumah kita masing-masing. Daunnya lebat. Sekilas seperti beringin yang hijau menyejukkan. Uh!

Bau. Sebab setiap lembar daun yang jatuh mengeluarkan getah kebencian dan raungan menyakitkan pendengaran. Daftar saja semuanya: Isi got, isi celana, kebun binatang…

Kalau kau tidak memaki, kau tidak akan dikenal. Anak baik-baik selalu lebih tidak menarik. Ini kenyataan.

Nah mari kita menjadi pengikut setan. Ramaikan isi neraka. Bikin konser disana. JREENGGG!!!

-BuRuLi. Ngambek. 2003-

Titip Surat Lewat Randu! Surat Buat Para Hantu!

:kalian!
Ndu!
Dadaku ngilu.
Rindu kerumunan hantu.
Rindu cerita-cerita itu.
Rindu kau.
Gilamu.
Perempuan yang kebakaran selalu.
Sajakmu.
Lagumu.
Gitar maut itu.

Jazz di malam hari.
Cecil Mariani.

Duh!
Aku rindu rukuku Paman Idamku.
Arwan dan pijatan mujarabnya.
Agung dan celotehan parahnya.

Rindu Mas Pinang dan dongeng malamnya, Ompit dan petualangannya, Ninus lucu dan Yulie Si Pemalu.

Dimana Nanang?
Diamana Aang?
Dimana Sam, Mbak Nonny Indah dan semuanya?
Dimas dan semua lagu yang tak juga ketemu nadanya?

Aku rindu Mahdi, yang menginap semalam dan demam tinggi. Bleem yang tak berhenti menasihati. Thanding Sari yang tak pernah mati. Onoy dan Momoy yang pernah mampir pada suatu hari…

Paman Njibs, Visnu dan tentang catatan sekilas waktu.

Aku rindu malam-malam itu.
Pembacaan-pembacaan puisi itu
Bang Saut dan puisi jembut
Sihar yang gahar
Katrin yang besar

Aku rindu, Randu!
Rindu sampai ngilu Suasana Rumah Hantu…

· Hampir lupa satu nama: Qizink la Aziva!
(BuRuLi, LeBul: 22.02.2004)

Hari-Hari Pertama

: dari dan kepada BuRuLi

Begitulah!

Selalu begitu!

Hari-hari pertama akan selalu menampilkan tubuh gemetaran. Ha ha! Perhatikan saja dirimu baik-baik setiap kau harus menghadapi hari-hari pertamamu

:

Hari pertama kau masuk sekolah.
Hari pertama kau menjadi penjelajah.
Hari pertama kau menstruasi
Hari pertama kau mendapatkan kekasih

Hidup, setiap awalnya adalah pertanyaan. Gumpalan-gumpalan informasi yang minta diterjemahkan. Sedang apa kita?

Ya.
Sedang apa.
Mau kemana.
Kiri, kanan, lurus, berbelokan…

Kita ketakutan.

Kita semua merasakan :

Ada tikungan di depan sana. Ada jurang disisinya. Semua bisa terjun kedalamnya. Kita bisa hancur dan terbunuh semuanya. Begitulah.

Kita adalah manusia.
Cuma manusia.
Itu saja.

Kemudian kita mencoba menghadapinya. Mencoba untuk tidak asal saja mecurigai semuanya. Barangkali kemarin kita telah berbuat salah, tapi tidak hari ini. Tidak akan lagi. Ya, tidak akan lagi.

Tapi aku masih gemetar…

Kau kira mereka tidak?
SAMA SAJA!

Tidak akan mudah bagimu. Juga tidak bagi mereka. Setiap pengalaman pertama adalah menakjubkan. Dan akan menjadi kenangan. Benar bukan?

Tuhan sayang,
Beri aku keberanian…

Tap! Tap! Tap!

Aku mendengar langkahku. Kakiku. Menderak lantai kayu yang tertabuh hentakan sepatu.

Tap! Tap! Tap!

Aku harus melangkah. Harus! Jangan takut lagi! Jangan ragu lagi!

Tap! Tap! Tap!

Kamu bisa, sayang!
Rayuku.
Pada diriku.

(BuRuLi, LeBul: 05.04.2004/ 03:55 am)

*My Smurf, Aku sedang berusaha tenang, berharap semuanya baik-baik saja. Berharap kau baik-baik saja. Belajar mempercayaimu dan diriku sendiri. Belajar mempercayai-Nya!

Surat Buat Paman Tercinta

Dear Paman Idam,

Kukirimkan padamu khayalku tentang kau dan bundamu. Tentang aku yang terselip disitu. Tentang kita dan lagu. Semoga kau dan bunda menyukainya! Aku membuatnya dengan cinta. Sungguh dengan cinta!

Sungguhpun ini hanya sebuah fiksi belaka =)

###
Pada suatu senja. Acara kumpul keluarga.

Sebuah kebun bunga, sejuk, mendung yang tenang, ada air mancur, beberapa ekor merpati bertengger di atas pohon flamboyan tua.

Ada gazebo disana. Para paman, para bibi dan bunda duduk mengitari meja.

Lalu aku. Lima tahun. Gaun putih dan rangkaian bunga di kepala. Aku adalah malaikat. Begitu kata Paman Idam. Aku senang. Hampir melonjak dan menabrak vas bunga pajangan. Sssst!!! kata paman. Bunda menunggu. Kita menyanyi sekarang.

Aku, Paman Idam dan gitarnya. Bertiga kami meramu irama. Rakakuku Burung Hantu, Paman?

Paman Idam tersenyum. Aku gembira. Senyum paman berarti "ya". Semua bertepuk tangan, cannon dimulai. Aku adalah burung hantu kecil yang ribut!

" Bila hari.. mulai senja... gelap pun menjelma
Kubersama... burung kuku... bernyanyi gembira..."

" Matahari terbenam... hari mulai malam... terdengar burung hantu... suaranya merdu..."

Bunda yang tua menggerakkan kepalanya, mengangguk menggeleng mengikut irama. Para paman dan bibi bersahutan berakaka rukuku... membaca puisi dicelah-celah lagu.

Aku senang. Malaikat kecil yang hinggap lalu terbang di udara malam. Aku melayang. Bintang... bulan...

Tiba-tiba sunyi.

Gitar paman tidak menabuh lagi. Tenang, suara petikan yang kukenal. Pamanku berbinar. Mulai, sayang! Katanya... aku mengerti. Rahasia! Kami sudah latihan kemarin malam.

Heran. Semua terdiam. Sunguh sunyi. Aku ragu. Paman Idam tertawa. Tidak papa! Begitu kudengar ia bicara, aku mulai bersuara

"Kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa..."
"Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia"

Semua terdiam. Lupa bertepuk tangan. Aku bingung. Binung bukan kepalang. Diletakkan paman Idam gitarnya di samping kursinya. Dipangkunya aku. Ada apa, paman? Mataku bertanya.

Sunyi. Tangan paman pada kepala. Semua wajah menghadap bunda.

Sssst. Sayang, bunda sudah tidur tenang!

Paman?

Ada telaga disana. Mata paman tercinta!

(BuRuLi, LeBul: 05 Maret 2004)

Ayah, dimana layangan akan kita naikkan?

[Catatan Kecil BuRuLi untuk Cikal]

Idealnya, di setiap lingkungan tempat tinggal ada lapangannya. Juga…
Idealnya, di setiap rumah kita ada halamannya. Juga…
Idealnya lagi, setiap orang seharusnya punya rumah…
Tetapi…

Jangankan lapangan…
Rumah untuk tinggal saja…

Mari kita pergi ke pantai
Tetapi ayah Dian tak punya mobil untuk mengantar Dian ke pantai
Kalau begitu kita pergi ke pantai naik bis
Tetapi ayah Mirna bahkan tak punya uang untuk mengantar Mirna pergi ke pantai naik bis
Lalu akan kita naikkan dimana layangan ini, Ayah?
Kita naikkan di atas loteng!
Tetapi tak setiap rumah ada lotengnya…

Bahkan tak setiap orang punya rumah, Ayah!

Ada kawan yang tinggal di dekat lapangan. Lapangan yang berpagar dan kawan harus membayar. Uang kawan hanya cukup untuk membayar salah satu, membeli layangan atau membayar karcis masuknya?

Kadang-kadang kawan bahkan tak lagi punya pilihan, uangnya hanya cukup untuk makan. Itupun kalau kawan sedang lumayan beruntung.

Ayah, dimana layangann ini akan kita naikkan?

Simpan dulu layangan kita, sayang! Bantu ayah mengangkut sampah? Kau masih beruntung, karena sampah kau masih bisa bayar sekolah!

(BuRuLi, LeBul 23 Juli 2004/ 11:50 pm)

*Selamat hari anak, sayang!

Aku dan kawan-kawan

: Catatan Kecil BuRuLi

“Kalau kau memberi mereka kesempatan untuk datang dan pergi, menitip diri lalu membiarkan mereka tumbuh dan berkembang menuruti panggilan alam, itu baru kau adalah kawan sejati!”

Hah? Jadi bukan berarti kita yang sedari kecil tumbuh bersama dan tidak pernah saling meninggalkan hingga dewasa?

“Apa konsepmu tentang seorang kawan yang meninggalkan? Kawan yang tiba-tiba menemukan dunianya sendiri yang seringkali berbeda dengan yang dulu sama-sama kalian miliki sehingga mereka harus berangkat untuk sungguh-sungguh menemukan jati diri? Berikan kesempatan itu kalau kau sungguh-sungguh sayang mereka!”

Berarti satu-persatu mereka akan menghilang…
Benarkah?
Begitukah?
Haruskah?

“Apa sih yang sebenarnya kau sebut dengan menghilang? Ketika mereka tidak ada di depan matamu karena sedang berjuang ? Ketika mereka tidak lagi sempat berbagi kisah? Ketika mereka lupa jalan menuju rumahmu juga tanggal ulangtahunmu. Itukah?”

Kenyataannya?

“Ha ha! Sederhana saja kalau kau ingin membuktikannya! Katakan kau merindukan mereka, sebut nama mereka satu-satu dan tunggulah reaksi itu! Maka yang pergi sebagian akan kembali, yang menetap bisa jadi bertambah erat dan… relakanlah yang hilang sebagai kenangan!”

Artinya?

“Semua ada waktunya, semua ada masanya. …”

Mengapa mereka berubah?

“Karena mereka bertumbuh. Apakah kau tidak?”

… … …

(BuRuLi, LeBul: 23. 07. 2004/ 4: 16 am)

Slurperry Cartoony Horrayy!!

: My world!

Yup Yup Yup!

I don wanna get sad anymore…Nope! Uh! Uh!
It’s time to jump and run under the shining sun
You know?
I ever cry but not today
Not now
Not anymore!
Uh! Uh!

Slurperry Cartoony Horrayy!!
I jump to you
You jump to me
Let’s jump together just you and me
Say yes! And join me!
See you on Sesame!

Spring time!
Just feel like the spring time
Or summer summer summer
Everyday are valentine
No time for winter!

Next time I’ll visit 100 Acre Wood
I’ll bring Elmo around the neighbourhood
Meet Christopher Robin And Winnie The Pooh
Piglet, Tigger Kangga and Roo
Also Owl and Eeyore Too

Let’s watch Rabbit and Oscar
They will Grouchy Happily Ever After!
Gosh! I Love my world
Being here
With you
Together!

No time for sadness
Not here
Not now
Not forever
Uh! Uh!

(BuRuLi de Pooh, LeBul: 22 April 2004)

Sajak Buat Dyah

: kpd bayi-bayi

Dyah Nyiur ananda sayang
Engkau lahir di belantara rimba kehidupan
Maka dekatlah pada matahari
Agar terang selalu cahaya hati

Jangan takut, nak!
Demikian ayah dan bunda pesankan
Tak ada yang lebih indah daripada kehidupan
Meski senantiasa kau hias dengan tangisan
Biarkan saja, nak!
Itu semua rencana Tuhan
Baik-baiklah engkau pada-Nya
Buka telinga bagi firman-Nya
Ketuklah pintu setiap kau rindu
Ia selalu ada untukmu

Kau lihat itu di sana?
Itu adalah titian
Titian panjang yang akan kau lewati
Jaman membuatnya demikian licin
Maukan engkau berhati-hati?
Tergelincir itu demikian sakitnya
Dan akan menimbulkan bekas luka.
Tak usahlah, nak…
Tak usah mencoba yang sia-sia
Dahulu kami pernah kehilangan peta
Jangan kau turut jejak yang tersisa

Demikianlah pesan ayah dan bunda, nak!
Semoga tak sia-sia!

(Bunda Nyiur, LeBul: 22 April 2004)