Bulu ketiak keriting njegrik dari bawah pangkal lenganmu , protes akan ketidak adilan. Kata mereka:
“Kau kira tidak tesiksa berada dibawah kempitan pangkal lengan berat dan berair ini, jadi pangkalan bakteri dan sering dituduh sebagai sumber bau ?”
O, bulu ketiak! Sempat kupikir kaupun pasti merasa iri pada nasib bulu mata, alis apalagi rambut yang sempat merasakan sentuhan tangan-tangan lentik meluruskan ataupun mengikalkan mereka, memotong dan mencabuti kemudian hasilnya buat dipamerkan.
Yap! Belum pernah ada yang memamerkan dengan bangga hasil pencabutan bulu ketiaknya pada masyarakat luas. Dan tidak pernah ada tren model bulu ketiak kecuali saat Samson jadi juara. Bulu ketiak gondrong maha sakti. Cuma milik Samson, bukan?
Bulu ketiak melakukan peregangan, berharap hasilnya akan seindah hasil rambut yang di re-bonding. Tapi alih-alih menjadi lebih lurus malah jadi semakin keriting, merasa stress, dibekap dibawah pangkal lengan penuh keringat. Ah, nasib katanya. Teringat pula pada nasib kawan sesama bulu…
“ Sampai sekarang aku masih memikirkan, apa sih maksud-Nya aku ditumbuhkan disitu? “
Maaf. Tapi aku bukan ahlinya!
(BuRuLi, LeBul: 28.01. 2004)
Friday, 28 September 2007
Bulu Ketiak
Posted by
BuRuLi
at
15:14
0
comments
Bayi Perempuan yang Tak Pernah Diinginkan
Ya. Ibuku bidadari. Matanya tajam seperti elang. Aku tidak. Aku bukan mahluk menakjubkan seperti dia. Aku Cuma bayi perempuan biasa. Iapun malu melahirkan aku.
Bidanku seorang raksasa. Dua taringnya menghujam dunia. Ia tinggi besar dan hitam. Kau akan takut kecuali kau kenali sinar di matanya. Ada matahari hangat terbit disana. Ia basuh mukanya dengan darahku. Darah anak bidadari yang ingin membuang bayinya. Makan saja bayi itu kalau kau mau! Kata ibuku.
Raksasa itu menangis. Ibuku menangis. Dua tangisan yang bersamaan dengan alasan yang sama sekali berbeda. Ibuku mengharapkan seorang pangeran mengoek dari perutnya. Ia benci mendapatkan bayi kecil mirip babi. Demikian kukira ibu bidadari itu mengenangku.
Raksasa itu menangis. Tak seorang jantanpun meminangnya. Tak seorangpun bayi lahir dari rahimnya. Ia menangis. Ada mahluk mungil dihadapannya. Ia tersinggung disangka demikian buas. Seandainya ibu itu bukan bidadari, maka dialah yang akan dibunuhnya!
Aku masih ingat bagaimana rasanya melayang dipangkuan Sang Dewi Raksasa. Bau mulutnya yang khas. Suaranya menggelegarkan kidung cinta. Tidurlah anakku. Puteri Dewi semanis madu. Tidurlah di hangat dadaku…
Mataku basah. Basah oleh airmatanya. Airmata Dewi Raksasa yang perkasa. Ketika bidadari itu pamit hendak terbang pulang, Dewi Raksasa berkata:
“Aku tak akan pernah berterimakasih, atas kudapan segar di genggamku ini. Juga takkan berterima kasih karena telah kau lempari aku segumpal cinta bermata jernih. Makan saja sendiri olehmu kenangan biadab ini. Kau akan kehilangan dia sampai mati! Kau tak suka bayi perempuan? Hanya mereka yang bisa sungguh-sungguh menyelamatkanmu!”
Perempuan tua cantik itu kini terbaring di atas peraduan beledu. Ibu Dewi Raksasa berdiri di depan gapura, setia menungguku. Nak, kata ibu dewi gagahku itu. Jenguklah ia. Ia sudah sengsara terantuk dosa. Bidadari tua gila. Ia tidur disana duabelas tahun lamanya. Sendiri. Sendiri menghitung sepi…
(BuRuLi, LeBul: 26.01.2004)
Posted by
BuRuLi
at
15:08
0
comments
Tentang Sepotong Sajak Yang Ditemukan Mati di Bawah Jendela (1)
Sepotong sajak telah ditemukan mati mengenaskan di bawah sebuah jendela
Sajak siapa?
Jendela siapa?
Kenapa sajak itu sampai bisa mati terbunuh disini?
Orang-orang memilih bungkam
Diam adalah senjata
Dan para penanyapun memilih berhenti bertanya
:
Sajak itu telah memilih mati, kata orang-orang.
Bohong!
Dimana-mana sajak lebih memilih cinta daripada kematian.
Tapi apa benar?
Orang-orang dulu telah menggunakannya sebagai alat untuk mendapatkan berbagai macam keinginan mereka.
Anda ingin pacar, kekasih, pengagum dan penggemar? Tulislah sajak!
Atau anda baru saja terluka? Tulis jugalah sajaknya!
Maka berderetlah puisi-puisi untuk dan dari pacar, mantan pacar, calon suami, calon istri, mantan suami atau istri bahkan para orang yang belum pernah kita sempat tahu mereka siapa.
Puh!
Memuakkan.
Sungguh memuakkan!
(Atau... mungkinkah racun bernama kisah percintaan itu yang telah membunuhnya? Ia tampak demikian ungu kaku dan barangkali sangat tersiksa menjelang ajal menjemputnya)
Entahlah...
Salah seorang yang datang menjenguk mendiang sajak itu telah memaki-maki Sang Sajak di depan jasadnya
:
Kau pembohong!
Serunya.
Barangkali ia benar.
Orang itu telah menemukan ribuan sajak yang sama dan seirama bagi dirinya, bagi diri orang-orang lain, dari orang yang sama yang telah mengirimkan sajak itu padanya... dulu.
Isinya adalah:
Cinta
”Aku mencintaimu”
Demikian sepotong bunyi dari sederet sajak itu.
Entahlah...
Kematian sajak telah membuatnya beku sekalipun ia pernah terluka karenanya.
Orang itu telah merindukannya.
:
Sepotong sajak bernada cinta
Lantas,
Jendela siapakah itu?
(BuRuLi, WarBat: 3 February 2007)
Posted by
BuRuLi
at
14:16
0
comments
Labels: puisi
Tentang Sepotong Sajak Yang Ditemukan Mati di Bawah Jendela (2)
Siapa yang telah membunuhnya…?
Aku!
Teriakku dari jendela rumah hantu.
(BuRuLi, WarBat: 05 Feb 2007)
Posted by
BuRuLi
at
14:12
0
comments
Labels: puisi
Tentang Gempa
Gempa tidak pernah menelepon dulu sebelum ia datang.
Tidak pernah menyampaikan seberapa dalam kerinduannya dan seberapa lama ia akan tinggal bersama kita.
Setelah pergi ia juga tak pernah berkirim surat tuk mengabari,
Kapan ia akan datang kembali...
(BuRuLi, LeBul: 26 September 2007)
Posted by
BuRuLi
at
12:01
0
comments
Labels: puisi
Surat buat Trinil (2)
”Beri aku satu anak laki-laki! Biar tak usah kutangisi nasib anak perempuanku nanti!”
Karena nama anak perempuan tak akan kau temukan lagi sebagai dirinya dalam sebuah bagan keluaga!
Trinil, memang demikianlah budaya yang membesarkan kita ternyata. Kau! Kata mereka. Perempuan! Pergilah! Cukup kami membesarkanmu sampai disini. Ikut suamimu!
Lalu kita pergi. Sepotong mas kawin bagi kita.
Lalu kita ikut kemana arus membawa. Suami naik, suami turun... kita makmum! Bersyukurlah kita yang dikaruniai suami yang baik. Bersyukurlah! Beberapa dari kita menangisi nasibnya dan tak mungkin kembali.
Pintu tertutup bagi anak perempuan yang telah menikah, bukan?... Kau telah pergi, Nak! Tak ada lagi bagianmu disini...
Sebab perbekalan cuma milik anak laki-laki dalam keluarga. Anak laki-laki yang akan jadi suami dari istri mereka. “Sebab istri mereka adalah tanggung jawab kami. Seperti kau telah kami serahkan pada mereka!”
Apakah perempuan-perempuan ini cuma semacam barang? Demikiankah sebuah serah terima perempuan antar keluarga? Kita ini dimiliki. Dan tak boleh memilih untuk memiliki. Bahkan keluarga bapak kita sendiri!
”Sebab nama kalian takkan pernah terbaca lagi, sebagai dirimu sendiri...”
(BuRuLi, WarBat: 27 Juli 2006)
Posted by
BuRuLi
at
11:59
0
comments
Labels: Catatan kecil BuRuli
Surat Buat Trinil
Kemana harus kutitipkan gelisahku, Nil?
Mungkin nanti sampai aku nyusul kau mati, jenis kita ini masih warga kelas dua.
Bukan soal sekolahnya, Nil! Bukan!
Tapi kupikir karena banyak yang memang percaya kalau perempuan itu ditakdirkan hidup nggelosor. Jadi pel buat orang banyak.
Kemana harus kutitipkan gelisahku, Nil?
Kalau kita gagal beranak kitalah yang salah.
Hampir selalu cuma kita!
Karena nggak sehatlah, karena kurang hati-hatilah, karena setreslah...
Apa mereka pernah tanya apa rasanya jadi kita, Nil?
Apa pernah?
Kenapa kita jadi nggak sehat, sepertinya kuranghati-hati dan kenapa sampai setres!
Apa mereka peduli, Nil? Apa mereka mau mencoba mengerti?
Setengah hidup kita tahan sakit di badan dan di hati...
Dan pahitnya, Nil...
Sebagian dari jenis kitalah yang menudingi hidung-hidung jenis mereka sendiri
:
”Bodoh! Apa yang kalian perjuangkan, sih? Kita kan memang ditakdirkan untuk jadi begini ini, karena kita terlahir dari jenis yang ini di tanah ini!”
Semprul!
Banyak juga yang masih menimang cara seperti itu, Nil...
Perempuan dikira kain, apa? Dimek-mek. Kalau udah jelek tinggal dijadikan gombal. Jadi keset. Lebih jelek dari ”Welcome” sekalipun!
Aku mau nangis, Nil... Tapi katanya gak boleh. Katanya cengeng amat. Terkadang terlihat berperasaan pun dianggap salah. Padahal aku ini sedih, Nil. Dan cuma butuh nangis sedikit. Bukan pingin mati...
(BuRuLi, WarBat: 21 Juli 2006/ dinihari pagi)
Posted by
BuRuLi
at
11:56
0
comments
Labels: Catatan kecil BuRuli
Sial!
Bunga batu!
Teriakku…
Sial!
(BuRuLi: LeBul: 15 September 2007)
Posted by
BuRuLi
at
08:07
0
comments
Labels: puisi
Sedari Menjadi
:Cikal dan Ndayang
Dua anak kami
Wangi bunga rumput liar
Mandi sinar matahari
Sedari lahir menjadi gizi bagi tanah, bagi akar, bagi serangga
Sedari lahir menjadi liar menjadi sinar
Sedari menjadi mereka udara
Bagi bapak dan ibunya
(BuRuLi, LeBul: 10 September 2007)
Posted by
BuRuLi
at
08:04
0
comments
Labels: puisi
Kerinduan itu
Hei…
Tiba-tiba aku merindukan sebuah panggung kecil, perangkat pengeras suara dan gitar
Orang-orang yang duduk, mengaharap dan menantikan..
Lalu lampu ruangan yang dipadamkan
Dan lampu panggung yang dinyalakan
Lalu langkah-langkah
Dan suara-suara
Dan senyuman
Dan gegar tepukan tangan
Hei...
Aku merindukan belakang panggung yang riuh menyesakkan
Orang-orang yang lalu-lalang dan perangkat pentas yang berserakan
Lalu tepukan-tepukan bahu yang membarakan
”Jangan khawatir!”
”Kalian bisa!”
Lalu doa yang di panjatkan sebelumnya
Dan pelukan yang di eratkan setelahnya
Syukur yang dalam
Hei...
Aku merindukan pasang-pasang mata bahagia
Lelah yang lesap
Orang-orang yang menyerakkan diri di antara lengan, perut dan kaki
Dengkur yang murni
(BuRuLi, LeBul: 26 September 2007)
*kepada keluarga kecil yang telah menjadikanku
Posted by
BuRuLi
at
08:02
0
comments
Labels: puisi
Karena Janji Pada Suatu Pagi
:Pulung Cikal Radjam
anak pertama kami
Cikal luruh karena janji. Janjinya dulu pada Ilahi. Di pagi yang harum sabun mandi, Cikal meronta melepas diri. “Aku berangkat,ya! Bunda tak akan sakit lagi!”
Bundanya menangis. Air mata sungai mengalir. Melarang ia tak mungkin. Ikhlas ia belum berhasil. “Berangkatlah, Nak! Kalau memang begitu sebuah kehendak”
Cikal mungil melengkung pelangi. Cikal luruh kemarin pagi. Cikal ungu lurik berbisik “Bawa aku pulang, Ayah! Leburkan aku di tanah rumah”
Cikal tinggal di bawah batu. Air mata ayahnya menggali seluruh. Doanya mengucur sedih bercampur. Di jauh bunda mengerang duka. Ayah mendukungnya sekuat jiwa “Sudah, Bunda…Itu semua rencana-Nya”
Ada yang mengukir tabah di nisan tak bernama. Dua bulan di perut ditimang bunda. Dua bulan dibuai dituntun ayah. Ia yang bernyanyi tanpa suara. Melihat hidup memintal rasa. Belum lagi jantungnya pernah berdegup, ia memilih pulang pada Tuhannya.
Ada yang merindu pada seluruh urat nadinya. Ada yang berdoa di setiap tarik nafasnya. Ialah sepasang ayah dan bundanya, berharap akan berjumpa suatu ketika.
“Cinta padamu tak pernah selesai, Cikal! Sepanjang hidup ayah bundamu termimpi!”
Ada yang menaut jemari menumbuk sedih.
(BuRuLi: PH, 3 Juni 2006)
Posted by
BuRuLi
at
07:59
0
comments
Labels: Catatan kecil BuRuli
Peluk Sayang dari Surga
Peluk sayang dari surga!
Untuk sepelukan orang-orang tercinta
Mungkin belum sempat kita kemarin
Berpelukan lahir dan batin.
Mungkin saat kau pandangi puing itu
Teringatmu salahku padamu
Peluk sayang dari surga
Mohon maafkan aku sedalamnya
Hari itu aku menangis
Mengenang kau, dia dan semuanya
Semuanya!
Terlambat…
Aku keburu berangkat!
Peluk sayang dari surga
(BuRuLi, WarBat: 13 Juni 2006)
-Untuk Jgy,3-
Posted by
BuRuLi
at
07:58
0
comments
Labels: puisi
Sebuah Doa Yang Dikulum
Mari kita tersenyum
Hari itu memang sedih
Menangis kita sudah meraung
Tapi Tuhan sayang kita
(BuRuLi, WarBat: 13 Juni 2006)
-Untuk Jgy, 2-
Posted by
BuRuLi
at
07:51
0
comments
Labels: puisi
Yang mengetuk pintu? Bukan Tamu!
Yang mengetuk pintu hari itu
Bukan tamu!
Malaikat tidak sedang menjajakan tiket perjalanan ke surganya secara door to door
Pada perjanjian
Suatu hari akan rekah
Bumi
Di sini
Lalu ada yang datang di hari itu
Suaranya seperti ketukan di depan pintu
Bukan Tamu!
( BuRuLi, WarBat: 13 Juni 2006)
-Puisi BuRuLi untuk Yogya-
Posted by
BuRuLi
at
07:43
0
comments
Labels: puisi
Deteline means deadline
Symptoms-nya adalah kepala pusing, mata pendar dan emosi berhulu ledak besar!
Semua tuts komputer berikut jari-jari dan otak are goin’ mad dengan teriakan khas yang tertahan:
” F*** you!”
I hate dateline!
Dateline means deadline
Cinta digantungkan sementara di titik terdekat dengan telinga sehingga ketika telepon berdering kita siap dengan bisikan pertolongan gawat darurat:
”I love you, honey!”
Kita menggelinjang ketika tidur. Mimpi deretan angka dan tabulasi jadwal yang harus dipenuhi.
:
” F*** you!”
(BuRuLi, WarBat: 8Juli 2006)
Posted by
BuRuLi
at
07:42
0
comments
Labels: Catatan kecil BuRuli
Dari sebuah catatan tua yang kutemukan kemarin senja.
Apakah yang tidak mungkin?
Sebab hidup adalah kumpulan dari kemungkinan-kemungkinan
Pahit ataupun manis
Adalah
Kemungkinan
Lalu kita sibuk menebak ke arah mana sebaiknya kita berjalan
Dan
Segera pula tahu bahwa kita tidak akan pernah sungguh-sungguh tahu
Kemana seharusnya...
Sebab hidup adalah kumpulan dari kemungkinan-kemungkinan
Pahit ataupun manis
Adalah
Kemungkinan
Maka
Berdamailah!
(BuRuLi, WarBat: 18 Feb 2007)
Posted by
BuRuLi
at
07:28
0
comments
Labels: Catatan kecil BuRuli
Ada Carefour mengintip dari celah-celah atap di kampung kami
Demikian dekat Carefour dari sini...
Banjir?
Siapa takut?!
Pindah Carefour aja!
Srug! Srug! Srug! Gelisah tawa para ibu di atas papan cuci mereka
Di sebelah jemuran kutang adalah jemuran celana dalam
Semua di jemur di beranda, persis di tempat kami biasanya mengibarkan bendera
Tung... tung... tung... tung... ! Perhatian... Perhatian...
Para pengunjung Carefour yang terhormat di mohon agar....
Hei, Pak! Kontrakan-nya tahun depan jangan naik lagi dong!
Demikian dekat Carefour dari sini...
Tung... tung... tung... tung...
Eh, Mbak kerja di Carefour?
Ada lowongan lagi di sana kagak, yah?
Buat anak saya!
Demikian dekat Carefour dari sini...
Tung... tung... tung... tung...
Abis borong, bu?
Hebat, yah!
Kan mahal...
Busyet, dah!
Serius ’ni harga sayur?
Tapi...
Ke Carefour aja, ah!
Demikian dekat Carefour dari sini...
(BuRuLi, WarBat: 10 Feb 2007)
Posted by
BuRuLi
at
07:26
0
comments
Labels: puisi