Tuesday, 27 May 2008

Mantra Pembangun Hantu

Hei!
Bangun!
Sebelum kuketuk kepalamu sudah kuketuk kepalaku sendiri
Knock! Knock!
Masih adakah imajinasi di sana?

Siapa kemarin sudah membunuhmu?
O,
Mahluk yang sama rupanya
Mereka yang sejak lama ingin memasung imajinasi kita

Apa?
Mereka alergi kabel?
Huahaha... !

Eh,
Aneh sekali...
Mereka yang alergi,
Kenapa kita yang mati?

(BuRuLi, LeBul: 27 Mei 2008)

Sunday, 10 February 2008

Menunggu Suami Pulang

Beranda temaram
Kopi mendingin
Kerlip gemintang

-BuRuLi, LeBul: 10 Feb 2008-

Friday, 28 September 2007

Bulu Ketiak

Bulu ketiak keriting njegrik dari bawah pangkal lenganmu , protes akan ketidak adilan. Kata mereka:

“Kau kira tidak tesiksa berada dibawah kempitan pangkal lengan berat dan berair ini, jadi pangkalan bakteri dan sering dituduh sebagai sumber bau ?”

O, bulu ketiak! Sempat kupikir kaupun pasti merasa iri pada nasib bulu mata, alis apalagi rambut yang sempat merasakan sentuhan tangan-tangan lentik meluruskan ataupun mengikalkan mereka, memotong dan mencabuti kemudian hasilnya buat dipamerkan.

Yap! Belum pernah ada yang memamerkan dengan bangga hasil pencabutan bulu ketiaknya pada masyarakat luas. Dan tidak pernah ada tren model bulu ketiak kecuali saat Samson jadi juara. Bulu ketiak gondrong maha sakti. Cuma milik Samson, bukan?

Bulu ketiak melakukan peregangan, berharap hasilnya akan seindah hasil rambut yang di re-bonding. Tapi alih-alih menjadi lebih lurus malah jadi semakin keriting, merasa stress, dibekap dibawah pangkal lengan penuh keringat. Ah, nasib katanya. Teringat pula pada nasib kawan sesama bulu…

“ Sampai sekarang aku masih memikirkan, apa sih maksud-Nya aku ditumbuhkan disitu? “

Maaf. Tapi aku bukan ahlinya!

(BuRuLi, LeBul: 28.01. 2004)

Bayi Perempuan yang Tak Pernah Diinginkan

Ya. Ibuku bidadari. Matanya tajam seperti elang. Aku tidak. Aku bukan mahluk menakjubkan seperti dia. Aku Cuma bayi perempuan biasa. Iapun malu melahirkan aku.

Bidanku seorang raksasa. Dua taringnya menghujam dunia. Ia tinggi besar dan hitam. Kau akan takut kecuali kau kenali sinar di matanya. Ada matahari hangat terbit disana. Ia basuh mukanya dengan darahku. Darah anak bidadari yang ingin membuang bayinya. Makan saja bayi itu kalau kau mau! Kata ibuku.

Raksasa itu menangis. Ibuku menangis. Dua tangisan yang bersamaan dengan alasan yang sama sekali berbeda. Ibuku mengharapkan seorang pangeran mengoek dari perutnya. Ia benci mendapatkan bayi kecil mirip babi. Demikian kukira ibu bidadari itu mengenangku.

Raksasa itu menangis. Tak seorang jantanpun meminangnya. Tak seorangpun bayi lahir dari rahimnya. Ia menangis. Ada mahluk mungil dihadapannya. Ia tersinggung disangka demikian buas. Seandainya ibu itu bukan bidadari, maka dialah yang akan dibunuhnya!

Aku masih ingat bagaimana rasanya melayang dipangkuan Sang Dewi Raksasa. Bau mulutnya yang khas. Suaranya menggelegarkan kidung cinta. Tidurlah anakku. Puteri Dewi semanis madu. Tidurlah di hangat dadaku…

Mataku basah. Basah oleh airmatanya. Airmata Dewi Raksasa yang perkasa. Ketika bidadari itu pamit hendak terbang pulang, Dewi Raksasa berkata:

“Aku tak akan pernah berterimakasih, atas kudapan segar di genggamku ini. Juga takkan berterima kasih karena telah kau lempari aku segumpal cinta bermata jernih. Makan saja sendiri olehmu kenangan biadab ini. Kau akan kehilangan dia sampai mati! Kau tak suka bayi perempuan? Hanya mereka yang bisa sungguh-sungguh menyelamatkanmu!”

Perempuan tua cantik itu kini terbaring di atas peraduan beledu. Ibu Dewi Raksasa berdiri di depan gapura, setia menungguku. Nak, kata ibu dewi gagahku itu. Jenguklah ia. Ia sudah sengsara terantuk dosa. Bidadari tua gila. Ia tidur disana duabelas tahun lamanya. Sendiri. Sendiri menghitung sepi…

(BuRuLi, LeBul: 26.01.2004)

Tentang Sepotong Sajak Yang Ditemukan Mati di Bawah Jendela (1)

Sepotong sajak telah ditemukan mati mengenaskan di bawah sebuah jendela
Sajak siapa?
Jendela siapa?
Kenapa sajak itu sampai bisa mati terbunuh disini?

Orang-orang memilih bungkam
Diam adalah senjata
Dan para penanyapun memilih berhenti bertanya

:
Sajak itu telah memilih mati, kata orang-orang.
Bohong!
Dimana-mana sajak lebih memilih cinta daripada kematian.
Tapi apa benar?

Orang-orang dulu telah menggunakannya sebagai alat untuk mendapatkan berbagai macam keinginan mereka.

Anda ingin pacar, kekasih, pengagum dan penggemar? Tulislah sajak!
Atau anda baru saja terluka? Tulis jugalah sajaknya!

Maka berderetlah puisi-puisi untuk dan dari pacar, mantan pacar, calon suami, calon istri, mantan suami atau istri bahkan para orang yang belum pernah kita sempat tahu mereka siapa.

Puh!
Memuakkan.
Sungguh memuakkan!
(Atau... mungkinkah racun bernama kisah percintaan itu yang telah membunuhnya? Ia tampak demikian ungu kaku dan barangkali sangat tersiksa menjelang ajal menjemputnya)
Entahlah...

Salah seorang yang datang menjenguk mendiang sajak itu telah memaki-maki Sang Sajak di depan jasadnya
:
Kau pembohong!
Serunya.
Barangkali ia benar.

Orang itu telah menemukan ribuan sajak yang sama dan seirama bagi dirinya, bagi diri orang-orang lain, dari orang yang sama yang telah mengirimkan sajak itu padanya... dulu.
Isinya adalah:
Cinta
”Aku mencintaimu”
Demikian sepotong bunyi dari sederet sajak itu.

Entahlah...
Kematian sajak telah membuatnya beku sekalipun ia pernah terluka karenanya.
Orang itu telah merindukannya.
:
Sepotong sajak bernada cinta

Lantas,
Jendela siapakah itu?

(BuRuLi, WarBat: 3 February 2007)

Tentang Sepotong Sajak Yang Ditemukan Mati di Bawah Jendela (2)

Siapa yang telah membunuhnya…?

Aku!
Teriakku dari jendela rumah hantu.

(BuRuLi, WarBat: 05 Feb 2007)

Tentang Gempa

Gempa tidak pernah menelepon dulu sebelum ia datang.
Tidak pernah menyampaikan seberapa dalam kerinduannya dan seberapa lama ia akan tinggal bersama kita.

Setelah pergi ia juga tak pernah berkirim surat tuk mengabari,
Kapan ia akan datang kembali...

(BuRuLi, LeBul: 26 September 2007)